Kamis, 29 Januari 2009

Kejayaan Komik indonesia


Surutnya perkembangan komik Indonesia tidak membuat para komikus menyerah. Komik layak diperjuangkan karena komik sudah menjadi hidup mereka. Bagi sebagian orang, komik tidak lebih dari cerita bergambar yang memberikan hiburan di waktu luang.Namun,bagi para penggemarnya, komik adalah segalanya. Komik sudah menjadi candu yang susah ditinggalkan. Sebut saja kisahkisah komik populer dari Eropa, seperti: Asterix, Tintin, Smurf, Lucky Luke maupun Donald Duck keluaran Disney yang begitu melegenda.

Komik-komik tersebut menjadi bagian hidup yang selalu ada. Hingga saat ini, perkembangannya tidak pernah berhenti. Cerita bergambar tersebut selalu ada dan menjadi buruan bagi penggemarnya. Komik Jepang atau lebih akrab disapa manga, menjadi tren yang begitu populer saat ini.

Terlebih lagi dengan kehadiran serial animasinya yang juga begitu mewabah, seperti Avatar, Naruto, One Pieces, maupun Crayon Sinchan. Sebaliknya, masyarakat terasa asing dengan komik asal negeri sendiri. Meskipun banyak komikus berbakat, begitu juga dengan sejumlah karya komik yang sudah didistribusikan di toko-toko buku terkemuka, komik Indonesia masih belum memiliki tempat.

Komik pun menjadi cerita fantasi bagi para komikus dalam negeri. Komik Indonesia pun hanya sejarah usang yang hanya patut dikenang.Padahal, kreativitas komikus muda Indonesia sudah berkembang sangat baik. Bukan hanya membuat gambar yang layak, juga imajinasi cerita yang memiliki orisinalitas dan karakter yang kuat.

Keinginan kuat untuk bertakhta di negeri sendiri membuat sejumlah komikus muda berjuang keras mengangkat komik Indonesia ke publiknya sendiri. Selain berkreasi, mereka juga melakukan serangkaian kegiatan untuk menunjukkan bahwa komik Indonesia masih ada.

”Kami berusaha memperlihatkan bahwa komik-komik Indonesia itu ada.Karya-karya dari komikus kita yang memang tersebar, baik yang dikeluarkan secara indie maupun dipublikasi. Namun, memang tidak sepopuler komik dari luar,”ujar seorang aktivis komik,Ari Wowo,34.

Wowo, yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai pelukis dan penulis ini, mengaku jatuh cinta pada komik saat tahu bahwa komik sangatlah kompleks dan memiliki dimensi yang luas.Komik menggabungkan lukisan dan juga cerita dalam sebuah kesatuan. Selain memiliki kemampuan menggambar yang baik, komikus juga harus memiliki imajinasi yang kuat untuk membuat cerita yang baik.

Ari yang semula menganggap seni komik biasa, mengubah pandangannya saat bertemu para komikus yang memang menganggapkomiksebagaidunianya. Salah satunya adalah anggota komunitas Akademi Samali, yang bermarkas di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Komunitas ini bukan hanya tempat berkumpul para seniman komik, mereka juga melakukan sejumlah kegiatan untuk mengenalkan komik-komik Indonesia. Para seniman komik yang jumlahnya puluhan ini memilih jalur edukasi sebagai cara pengenalan komik kepada masyarakat.

”Banyak yang suka komik, selain suka membaca, banyak juga yang suka membuatnya. Namun, selama ini yang terjadi,mereka kesulitan untuk mendapatkan wadah ekspresi yang pas. Dari situlah muncul ide untuk membuat komunitas ini,” ujar Bambang Tri Rahardian, 32, yang akrab disapa Beng, pendiri dari komunitas ini.

Nama akademi menjadi simbol bahwa komunitas ini memang bertujuan untuk memberikan edukasi sekaligus belajar mengembangkan diri dalam urusan komik. Sementara Samali sendiri diambil dari jalan tempat mereka biasa berkumpul.” Ini sebenarnya merupakan bentuk keinginan kami untuk belajar dan mengembangkan diri.

Awalnya, sesama teman, lama kelamaan banyak juga orang luar yang ikut gabung. Akhirnya, kami jadikan ini sebagai sarana mereka yang memiliki hobi komik,” sebut Beng.

Dari akademi inilah Beng dan kawan-kawan menyusun perjuangan. Selain membuat karya baru, mereka juga mengembangkan jaringan dan mengadakan sejumlah kegiatan mengenai komik. Baik itu dalam bentuk diskusi maupun workshop. Selama dua tahun belakangan ini,akademi Samali pun aktif menjadi penggerak dalam sejumlah kegiatan besar mengenai komik.

SULIT DITINGGALKAN

BAGI para komikus Indonesia masih sangat sulit untuk menggantungkan hidup dengan menjadi pembuat komik.Pasalnya, komik Indonesia memang belum mendapat tempat yang baik.

Para penerbit pun masih ragu untuk memublikasikan karya-karya komikus lokal. Namun, itu tidak membuat para pencintanya menyerah. Komik bagi komunitas komik bukan lagi sekadar bacaan yang dikoleksi. Namun, mereka menganggap komik sebagai wadah ekspresi jiwa yang tak bisa hilang.

Para komikus yang tergabung dalam Akademi Samali misalnya, tetap tidak meninggalkan komik meskipun memiliki pekerjaan lain. Para anggota komunitas yang umumnya bekerja di bidang seni gambar tersebut,menganggap komik adalah hobi yang sulit ditinggalkan.

”Dunia saya komik. Saya adalah penggemar komik dan aktivitas saya adalah komik. Saya akan terus berada di dunia ini,”ucap Beng Rahardian, yang menekuni komik sejak tahun 1995 itu. Bukan cuma Beng yang merasakan itu,komikus lainnya Afif Arianto, 23, yang akrab dengan nama Afif Numbo itu juga berpendapat sama.

Afif yang berasal dariSoloinirelake Jakartauntuk mengembangkan kemampuannya. Selain bergabung dengan komunitas komik,Afif juga menjalani profesi sebagai freelance advertising ilustrator.

KOLEKTOR KOMIK INDONESIA, Rajin Mendatangi Lapak Buku Bekas

ERA‘70 dan ’80-an, komik Indonesia mengalami masa kejayaan. Komik-komik sepeti Mahabharata, Gundala Putra Petir, Jaka Sembung, maupun Carok, menjadi komik terpopuler kala itu.

Tidak salah bila bacaan tersebut begitu populer di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia. Apalagi media lain, seperti televisi maupun video belum marak seperti saat ini. Salah satu penggemarnya adalah Iwan Gunawan, 44, yang kini masih setia dengan kegemarannya itu.

Iwan yang berprofesi sebagai dosen seni rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu masih gemar mencari dan mengoleksi komikkomik lama tersebut. ”Dulu waktu saya kecil, saya memang terbiasa membaca komik-komik tersebut. Setelah sekian tahun, saya merasa kangen, ingin membacanya lagi,” sebut bapak beranak tiga ini mengungkapkan.

Komik yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai cerita bergambar (cergam) itu menurutnya memberikan banyak manfaat saat dia kecil dulu. Dia jadi rajin membaca buku. Selain itu, imajinasinya pun berkembang saat mengikuti kisah yang ditampilkan. Saat dia sudah dewasa dan memiliki pekerjaan mapan, Iwan baru merasakan keinginannya untuk memiliki bagian dari masa lalunya itu.

Sejak tahun 1992, Iwan rajin mendatangi lapak buku bekas untuk mendapatkan koleksi lama tersebut. Tidak terasa koleksinya saat ini sudah mencapai 1.000 lebih. Saking banyaknya, Iwan justru kebingungan untuk menyatukan seluruh koleksinya.

”Koleksi saya ada yang di rumah, di kantor dan itu sudah ditempatkan di dalam gudang,” ujarnya. Meski tercecer, koleksi tetap dia pertahankan. Saat dia ingin membacanya, atau menemukan salah satu koleksi untuk ditukar dengan sesama penggemar lainnya, dia akan mudah menemukannya.

Koleksi tersebut dimasukkan di dalam kantung plastik yang terlindungi dan dimasukkan ke dalam knainer yang diberi silical gel. Karena itu meskipun sudah tua, buku-buku tersebut tetap dalam kondisi baik. Saat mulai mencarinya, Iwan mendapatkan cergam dengan harga yang tergolong murah. Satu jilidnya kala itu dia mendapatkannya dengan harga Rp200 hingga Rp11.000.

Namun, semakin banyaknya orang yang mencari, harga komik-komik populer seperti karya Kosasih, Ganes TH, atau Teguh Santosa, harganya mulai merangkak naik, sekitar Rp25.000 per jilid. Selain melestarikan komik, Iwan juga berusaha mengangkat komik Indonesia saat ini dengan menerbitkan majalah komik, Sequen.

Namun, majalah yang dibuatnya tahun lalu itu, kurang mendapat pasar yang baik. ”Soalnya yang minat masih dalam kalangan penggemarnya saja. Sementara kalangan umum, sepertinya masih belum memperhatikan,” ujarnya.

Tidak ada komentar: